-->

Konsep Akhlak menurut Ibn Miskawaih

Konsep Akhlak menurut Ibn Miskawaih

Pendahuluan

Akhlak adalah satu di antara tiga kerangka dasar ajaran Islam (aqidah, syari’ah dan akhlak) yang juga mempunyai kedudukan penting.[1] Wujudnya merupakan bukti konkrit dari penerapan aqidah dan syari’ah. Selain itu, juga menjadi gambaran dari kualitas keimanan seorang mukmin. Ibn Qoyyim dalam fawāid­nya mengatakan bahwa perbuatan anggota badan dapat menjadi bukti keimanan seseorang selain nilai spiritualitas batinnya. Sebab, menurutnya iman memiliki dua bentuk, yaitu zahir dan batin. Pertama, dapat berupa ungkapan lisan maupun perbuatan anggota badan, sedangkan kedua, adalah kepercayaan hati, ketundukan dan kecintaan.[2] Namun demikian, hal yang zahir ini tidak akan mempunyai manfaat manakala batinnya kosong dari keimanan, meskipun tindakan dan pengorbanan tersebut besar serta berat.[3]
Melihat urgensi akhlak tersebut, maka tak heran jika banyak ulama` yang membahasnya. Diantaranya adalah Abu Bakar ar-Rāzī, Ibn Miskawaih, Ibn Hazam, Imam al-Ghazāli, Fakhruddin ar-Rāzī dan lainya. Mereka banyak menorehkan tinta emasnya dalam mengkonsepsikan akhlak dengan melandaskan kepada rujukan utama agama. Salah satu tokoh yang cukup intens dalam masalah ini adalah Ibn Miskawaih. Melalui risalah Tahdzīb al-Akhlāk ia dianggap orang yang cukup memberikan kontribusi dalam mensistematiskan pembahasan akhlak. Maka tak heran beberapa ulama` setelahnya juga banyak mengadobsi beberapa pemikiran akhlaknya, seperti; Imam al-Ghazāli, Nasirudīn at-Tūsi, Jalāluddin al-Dawwāni dan lain sebagainya.[4] Berlandaskan pada hal di atas, tidak berlebihan kiranya jika pembahasan akhlak dalam tulisan ini difokuskan pemikirannya.

Definisi akhlak
Sebelum membahas lebih dalam mengenai akhlak dan hakikatnya. Ada baiknya di sini kita uraikan sedikit mengenai definisi akhlak. Secara etimologi istilah “akhlak” dalam bahasa Arab merupakan jama’ dari kata “khuluq” yang mempunyai makna literal sifat, budi pekerti, dan watak.[5] Dalam bahasa Inggris kata padanannya adalah ethics yang berarti sebuah tingkah laku baik atau moral.[6] Bangsa Yunani menyebutnya dalam bahasa mereka dengan “ethos” atau “ethikos” yang berarti adat serta kebiasaan, dan dalam bahasa Latin “mores” juga berarti sebuah adat.[7] Ibn Mandzur melalui Lisān al-‘Arab mengartikan akhlak dengan gambaran batin manusia yang mempunyai kemungkinan sifat baik atau buruk.[8] Hal ini mengisyaratkan sebenarnya akhlak mempunyai keterkaitan dengan hati manusia yang kemudian terpancarkan dalam sebuah sikap tingkah-laku lalu menjadi kebiasaan dan adat.
Sedangkan secara terminologi, Ibn Miskawaih dalam Tahdzību al-akhlāq mendefinisikan akhlak dengan:
حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر ولا روية[9]
 Artinya, perikeadaan jiwa yang mengajak atau mendorong seseorang untuk melakukan segala perbuatan tanpa harus difikirkan dan diperhitungkan. Dengan pengertian, sikap yang keluar itu spontan dan berangkat dari keadaan jiwa yang merupakan sumber dari segala perbuatan baik ataupun buruk. Keadaan tersebut dapat berupa bawaan fitrah alamiah dan bertolak dari watak ataupun berupa hasil latihan serta pembiasaan dalam diri. Karena itu, apabila jiwa diarahkan kepada yang baik maka konsekuensinya akan memunculkan akhlak yang baik, tetapi apabila sebaliknya maka menyebabkan tercela.
Adapun al-Farabi sebagai Mu’allim ats-Tsāni, mendefinisikan akhlak dengan keadaan jiwa di mana seseorang melakukan perbuatan-perbuatan baik dan terpuji yang menunjukkan akhlak baik, sedangkan sebaliknya, apabila mengerjakan perbuatan-perbuatan keji, maka menunjukkan akhlak buruk.[10]Maka dari itu, setiap perbuatan-perbuatan tersebut sangat memungkinkan cerminan akhlaknya. Namun demikian ia selalu menekankan pentingnya akan perbuatan baik yang mempunyai balasan kebahagiaan.
Mengikuti Ibn Miskawaih, Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya` Ulūmu al-Dīn mengatakan bahwa akhlak adalah ungkapan yang menggambarkan kondisi jiwa, di mana semua perilaku bersumber darinya dengan penuh kemudahan tanpa memerlukan proses berfikir dan merenung.[11] Artinya jika kondisi jiwa itu menjadi sumber sikap-sikap terpuji, baik secara akal maupun syari’at, maka dapat dikatakan bahwa itu adalah akhlak  terpuji, namun apabila memancarkan darinya sifat-sifat tak terpuji, maka dapat dikatakan akhlaknya tercela.
Senada dengan itu, al-Jurjani melalui kitab Kitāb Ta’rīfātnya mendefinisikan akhlak sebagaimana berikut:
عبارة عن هيئة للنفس راسخة تصدر عنها الأفعال بسهولة ويسر من غير حاجة إلى فكر ولاروية، فإن كانت الهيئة بحيث تصدر عنها الأفعال الجميلة عقلًا وشرعًا بسهولة، سميت الهيئة: خلقًا حسنًا، وإن كان الصادر منها الأفعال القبيحة، سميت الهيئة: خلقًا سيئًا.[12]
Yang kurang lebihnya menjelaskan, bahwa akhlak adalah keadaan jiwa yang melekat dan keluar darinya perbuatan dengan segala kemudahan tanpa memerlukan pemikiran ataupun perenungan. Apabila keadaan jiwa tersebut melahirkan perbuatan-perbuatan baik, dipandang dari sudut akal dan syari’at, maka disebut dengan akhlak hasanah, namun apabila keluar darinya perbuatan buruk maka disebut akhlak tercela. Hal ini tampak sejalan dengan pendapat Ibrahim Anas yang mengatakan akhlak adalah sifat dalam jiwa melahirkan berbagai macam perbuatan, baik dan buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.[13]
Melihat beberapa definisi di atas, tampak tidak ada pertentangan, melainkan mempunyai kemiripan dan saling melengkapi satu dengan lainnya. Oleh sebab itu kiranya dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam dalam jiwa, sehingga menjadi sebuah kepribadian. Kedua, akhlak merupakan perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Hal tersebut bukan bermakna bahwa yang berbuat tidak sadar ataupun hilang ingatan, akan tetapi karena telah mendarah daging, maka saat melakukannya tidak membutuhkan pertimbangan ataupun pemikiran lagi. Ketiga, bahwa akhlak merupakan perbuatan yang timbul dari seseorang tanpa adanya suatu paksaan ataupun tekanan dari luar dirinya. Keempat, bahwa akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan penuh kesungguhan tanpa adanya suatu sandiwara. Dan kelima, akhlak merupakan perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas tanpa mengharap pamrih.
Hakikat Akhlak
Pada hakikatnya, akhlak sebagaimana pendefinisian di atas, bukanlah hanya satu gambaran perbuatan. Sebab sebuah perbuatan tidak dapat secara perinci mencerminkan jati diri. Karena suatu pekerjaan terkadang bertentangan dengan perikeadaan jiwanya.[14] Sebagai misal, seorang yang suka memberi, boleh jadi ia hanya untuk mencari ketenaran, namun tidak menutup kemungkinan ia benar seorang dermawan. Maka kurang tepat kiranya jika akhlak hanya digambarkan dengan sebuah sikap.
Selain itu, akhlak juga bukan pengetahuan. Karena pada dasarnya (pengetahuan) selalu berusaha atau berkaitan dengan eksplorasi keindahan dan keburukan dalam satu waktu.[15] Pengetahuan tentang kebaikan secara tidak langsung mengetahui akan hal buruk dan begitu pula sebaliknya. Sedangkan akhlak merupakan penggambaran kondisi jiwa yang timbul melalui sikap dan perbuatan dengan ringan tanpa beban. Hal ini bukan berarti pengetahuan tentangnya nihil, bahkan ilmu mengenainya begitu melimpah, tetapi sekali lagi akhlak bukanlah pengetahuan, melainkan keadaan jiwa.
Maka benar adanya, jika Ibn Miskawaih mengatakan bahwa akhlak adalah hāl nafs kondisi jiwa yang timbul darinya berbagai macam sifat, baik ataupun buruk. Ketika keadaan jiwa tersebut melahirkan sebuah tingkah laku buruk, maka dapat dipastikan bahwa akhlaknya adalah sayyiah, namun bila memunculkan darinya berbagai macam sikap baik maka akhlaknya adalah hasanah.
Berkaitan dengan itu, ia membagi sifat atau keadaan jiwa ini menjadi dua; pertama adalah kondisi jiwa yang berasal dari tabiat, di mana kondisi tersebut telah melekat pada diri seseorang, sebagaimana yang ditawarkan dalam dirinya antara sifat dermawan atau kikir, pemberani atau penakut dan lainnya. Kedua, kondisi jiwa yang dapat dilatih dan dibiasakan. Hal ini biasanya dapat difikirkan atau direncanakan yang kemudian menjadi sebuah akhlak.[16] Seperti pembiasaan berkata jujur, bertanggung jawab dalam berbuat, hingga pada akhirnya melekat dan menjadi akhlak. Oleh karena itu ia menambahkan, pada dasarnya manusia selalu membutuhkan pendidikan akhlak untuk menjaga dan melatih kondisi baik jiwanya,[17] sehingga selalu sesuai dengan fitrahnya yaitu dalam kebaikan.
Kondisi jiwa yang merupakan hakikat akhlak, kini telah menjadi salah satu pembahasan inti dalam etika muslim. Imam al-Ghazali dalam hal ini banyak memberikan cangkupan pembahasannya yang hingga kini masih diterima oleh para filusuf. Sebagai contoh pernyataannya adalah:
“The professor of this (ethics) occupy themselves with defining the attributes and qualities of the soul, grouping them according to genus and species, and pointing out the way to moderate and control them”[18]
Yang kurang lebihnya menjelaskan bahwa para ahli etika telah berusaha dengan segala daya untuk mendefinisikan, mengelompokkan, serta menjelaskan cara untuk mengendalikan berbagai macam jiwa. Pernyataan ini secara perinci melukiskan bahwa pembahasan jiwa memiliki bagian penting dalam akhlak. Maka sangat tepat kiranya jika Ibn Miskawaih dalam membahas akhlak memulai bukunya dengan jiwa dan daya-dayanya.
Jiwa (an-Nafs) dan dayanya
Jiwa menurut Ibn Miskawaih adalah substansi yang tidak dapat diindra.[19] Untuk memahami ini, ia selalu membedakan antara jiwa dengan materi. Jiwa sebagaimana dipahami, lebih condong kepada yang tidak dapat ditangkap dan diraba, sedangkan materi adalah berbentuk serta dapat diraba. Hal ini berarti, bahwa materi dapat dibuktikan dengan panca indra, sedangkan jiwa tidak, karena bukan fisik, bukan pula bagian dari fisik maupun kondisi fisik. Sebab itu, hakikatnya adalah sesuatu lain, karena berbeda dengan fisik, baik secara ciri-ciri, maupun perilaku.[20] Singkat kata, jiwa ini berasal dari substansi yang lebih tinggi, mulia, dan utama dari segala sesuatu yang bersifat fisik di dunia.[21] Oleh sebab itu sangat berbeda dengan jism yang sifatnya lebih kepada materi.
Dalam menjelaskan jiwa, Ibn Miskwaih mengatakan setidaknya manusia memiliki tiga daya, yang mana satu lainnya harus berimbang. Di antaranya; pertama daya rasional (jiwa rasional/ an-Nafs an-Nāthiqah) yaitu menjadi dasar berfikir, membedakan, dan menalar hakikat sesuatu. Pada taraf ini akalah yang menjadi pusatnya. Kedua, daya emosi, Ibn Miskawaih biasanya menyebut dengan an-Nafs as-Sabu’iyyah (kebuasan). Jiwa ini menjadi dasar kemarahan, tantangan, keberanian atas hal-hal yang menakutkan, keingin berkekuasaan dan berbagai macam kesempurnaan. Pusat dari daya ini terdapat dalam hati. Ketiga, daya syahwat (an-Nafs al-Bahīmiyyah) yaitu jiwa yang menjadi dasar syahwat, seperti mencari makan, kerinduan untuk menikmati makanan, serta berbagai macam kenikmatan inderawi lainnya. Sebagai pusat dari daya ini juga terdapat dalam hati.[22]
Dari ketiga hal ini, sedikitnya menggambarkan adanya kesamaan dengan pemikiran Plato.[23] Hanya saja, Ibn Miskawaih tidak memasukkan ketiganya sebagai jiwa yang saling terpisah dan berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan satu dengan lainnya. Sebab menurutnya, setiap darinya dapat menguat dan melemah.[24] Hal ini bergantung pada unsur-unsur sifat dasar atau tabi’atnya yang selalu melingkupinya. Ketika daya A menguat melebihi kapasitasnya, maka akan melemahkan lainnya. Oleh sebab itu, ketiganya harus seimbang satu dengan lain, sebab merupakan sesuatu yang tunggal.
Namun demikian, ia menambahkan bahwa untuk dapat menyeimbangkan daya-daya tersebut jiwa rasional mempunyai urgensi tinggi.[25] Kemampuan berikhtiar, dan persepsi didukung dengan ilmu yang benar menjadi satu titik penting bagi terealisasinya keseimbangan itu. Maka sangat wajar jika daya emosi dan daya syahwat harus selalu berhubungan dengan daya rasional untuk tidak melampaui dan keluar dari batasan yang benar.
Daya rasional tersebut, sekurang-kurangnya dapat dibagi menjadi dua. Pertama, daya teoritis yaitu merupakan satu tanda kesempurnaan awal bagi wujud manusia. Daya inilah yang selalu membuat manusia rindu akan ilmu pengetahuan. Sebab, ilmu membuatnya berpandangan, berfikiran, dan merenung secara benar, sehingga ia tidak salah tentang suatu keyakinan dan tidak ragu-ragu terhadap suatu hakikat. Daya ini digunakan manusia untuk memahami hal-hal yang bersifat rasional, umum dan abstrak. Kedua, daya praktis yaitu yang digunakan manusia untuk menyimpulkan tugas-tugas kemanusiaan, perilaku moral, dan perkerjaan profesi maupun keahlian. Dengan daya ini manusia dapat mewujudkan kesempurnaannya yang kedua, yaitu kesempurnaan akhlak.[26]
Melihat pembagian ini, cukup logis kiranya jika ia selalu menjadikan daya rasional barometer bagi lainnya. Sebab, daya tersebut menjadi penasehat sekaligus mencegah daya-daya lainnya untuk melebihi kapasitas yang ada. Namun selain itu, daya ini juga menjadi pengendali dirinya sendiri dan dibantu oleh pengetahuan yang benar. Hal ini sekali lagi menggambarkan bahwa ketiganya layaknya seimbang dan tidak melebihi porsinya.
Untuk memperjelas pandangannya ini, Ibn Miskawaih mengibaratkan manusia beserta ketiga daya atau jiwa tersebut dengan seorang yang menunggang kuda dan mengendalikan anjing untuk berburu. Jika orang tersebut mampu mengendalikan, mengarahkan, dan menguasai kuda sekaligus anjingnya, lalu keduanya patuh untuk berjalan, berburu, serta mengikuti seluruh perintah tuannya, maka tidak dapat diragukan bahwa ketiganya akan hidup harmonis, bahkan sejahtera. Tetapi ketika kuda itu tidak patuh, maka ia akan lari ke arah yang berbahaya sehingga pemburu dan anjingnya akan mengalami kehancuran. Demikian pula, ketika anjing tidak patuh kepada pemburu, manakala melihat sesuatu dari kejauhan yang ia anggap buruan, maka akan lari mengejarnya dan menarik pemburu beserta kudanya, sehingga mereka semua mengalami bahaya.[27] Dalam contoh ini mengandung peringatan akan berbagai bahaya yang menimpa manusia jika daya rasional tidak menguasai dua daya lainnya, yaitu daya emosi dan daya syahwat.
Dengan ini, menurut Ibn Miskawaih ketiga daya inilah yang menjadi pondasi dari sikap berperilaku manusia pada umumnya. Jiwa rasional mempunyai peran penting dalam rangka meraih segala keilmuan sebagai jalan penerang dalam kehidupan. Tak kalah pentingnya adalah daya emosi yang menjadi salah satu ciri manusia ingin meraih segala kesempurnaan sebagai makhluk Tuhan. Sedangkan daya syahwat merupakan kodrat manusia yang selalu ingin menikmati berbagai macam keindahan dan kelezatan indrawi. Namun demikian, itu semua tidak semata-mata berjalan leluasa tanpa batasan, akan tatapi mempunyai garis besar yang tidak patut untuk dilampaui sehingga menghilangkan dimensi kemanusiaannya. Oleh sebab itu, Ibn Miskawaih mengingatkan untuk menjaga keseimbangan jiwa serta melatihnya agar selalu berada dalam keutamaan akhlak dan melahirkan sifat-sifat terpuji.

Ber-akhlak
            Sebagaimana yang telah banyak disinggung di atas, bahwa akhlak merupakan keadaan jiwa (hāl nafs) yang darinya bersumber segala tingkah laku manusia. Organ dan anggota tubuh manusia akan bergerak seiring dengan komando jiwa yang merupakan raja dan esensi seluruh badan manusia. Sedangkan jiwa rasional sebagai penasehat selalu memberikan uraian, penjelasan, serta arahan sebelum anggota tubuh tersebut menjalankan perintah, bahkan sang raja kerap kali bertanya padanya.[28] Maka dari sini timbullah sebuah sikap atau tindakan yang dapat kita sebut dengan “berakhlak” yaitu cerminan hati pelakunya.
            Sejatinya, berakhlak adalah keluarnya sebuah tindakan atau perbuatan yang tak pernah ada rasa tekanan, sandiwara, bahkan pemikiran. Tindakan tersebut spontan dan telah tertanam dengan kuat dalam jiwa seseorang. Maka dengan itu, tak terdetik sedikit pun dalam dirinya untuk menalarnya, baik itu terpuji atau pun tercela. Namun meskipun demikian, terkadang sebelum mengambil sifat, adakalanya seseorang menimbang-nimbang, memikirkan, hingga merenungkan akibat dari perbuatan yang akan dilakukan. Hal ini bukan berarti tak disebut akhlak, tetapi sebuah proses pembiasaan dari perbuatan yang baik untuk kemudian menjadi akhlaknya. Inilah yang Miskawaih sebut dengan pelatihan berakhlak baik (Tahdzīb al-Akhlāk).[29]
Dari sini mungkin dapat kita katakan, bahwa berakhlak setidaknya dapat dibagi menjadi dua, pertama mahmūdah dan kedua madzmūmah. Berakhlak mulia (at-Takhalluq bi al-Akhlāk al-Mahmūdah), yaitu berperilaku terpuji yang merupakan cerminan hati yang bersih, seperti: berkata jujur, sopan-santun, bijaksana dan lainnya.[30]Hal ini dapat berupa hasil dari pembiasaan sifat baik, sehingga pada waktu lain keluar secara spontan tanpa adanya hambatan. Di samping itu, juga akibat dari keadaan jiwa yang bersih serta selalu tunduk dan taat pada ajaran-ajaran agama. Maka tindakan-tindakannya pun terdorong oleh ajaran tersebut. Selain itu, mungkin juga pengaruh dari ilmu-ilmu (baik) yang dipelajari, sehingga jiwa rasional memahami dan menggerakannya untuk berakhlak mulia.[31]
Yang kedua adalah berakhlak tercela (at-Takhalluq bi al-Akhlāk as-Sayyi`ah) yaitu keluarnya sebuah sikap atau tindakan yang tercela dan tidak sesuai dengan fitrah manusia.[32] Tindakan itu juga spontan, tanpa pemikiran, dan telah menjadi akhlaknya, seperti: berkata kasar-kotor, sombong dan lainya. Perbuatan-perbuatan tersebut merupakan cerminan dari keadaan hatinya yang tidak bersih, bahkan stabil. Sehingga, daya-daya dalam hatinya pun bergejolak dan menghasilkan sikap perbuatan yang tak menunjukkan hakikat jati diri manusia. Ini disebabkan oleh ilmu-ilmu, ajaran-ajaran, yang tak sesuai dengan nilai-nilai spiritualitas. Di samping itu, jiwa rasional juga tak didengarkan dan diberikan porsi dalam mengarahkan setiap pekerjaan. Akhirnya segala arah tindakannya hanya berpangku pada syahwat kebuasan, dan menjadikannya berakhlak madzmūmah.
Kedua keberakhlakan ini, masing-masing mempunyai konsekuensi sendiri-sendiri, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Namun, jika melihat sedikit pada yang kedua, maka manusia akan menjadi makhluk yang sehina-hinanya, bahkan lebih rendah dari pada binatang. Sebab, tak lagi menggunakan anugerah terbesar yang membedakannya dengan makhluk Tuhan lainnya, yaitu jiwa rasional. Berbeda dengan itu, Akhlak mahmūdah akan dapat mengantarkan manusia meraih tujuan dari hidupnya, yaitu sebuah kebahagiaan. Dan hal itu hanya dapat digapai melalui akhlak mahmūdah yang menjadikannya memiliki keutamaan di antara para makhluk lainnya. Oleh karena itu, berlandaskan pada ajaran agama, Ibn Miskawaih dan para filusuf Muslim lainnya, menekankan akan urgensinya berakhlak mulia, agar dapat meraih keutamaan (fadhilah) yang merupakan aspek penting dalam meraih kebahagiaan.

Keutamaan (fadhilah)
Mengenai fadhilah, Ibn Miskawaih berpandangan bahwa setiap manusia memiliki satu jiwa yang di dalamnya memiliki tiga fungsi dalam oprasonalnya. Jiwa tersebut saling berdesakan dan merebut posisi, tetapi apabila dapat seimbang di antara ketiganya maka tercapailah keutamaan dan kebajikan pada manusia.[33] Keharmonisan tersebut bukanlah pengekangan antar jiwa-jiwa, namun mendamaikan dan mengusahakan agar dapat seimbang.
Keutamaan sebagaimana ingin dimaksud adalah kondisi kejiwaan yang dapat melahirkan perbuatan-perbuatan bijak secara ringan, suka-rela tanpa ada unsur paksaan.[34] Hal ini sekali lagi bukan perbuatan maupun pengetahuan. Karena perbuatan terkadang tidak menggambarkan kondisi kejiwaan yang ikhlas sehingga benar-benar memunculkan sikap tersebut. Sedangkan pengetahuan selalu berpasangan dengan lawannya.[35] Oleh karena itu, keutamaan tersebut merupakan keadaan jiwa yang mampu melahirkan perbuatan-perbuatan terpuji.
Dalam merumuskan sifat utama (fadhīlah), Ibn Miskawaih menawarkan posisi pertengahan (al-wasth) yang tampaknya mengikuti filusuf pendahulunya.[36] Menurutnya posisi ini adalah moderat, harmoni dan utama di antara ekstrim berlebihan atau ekstrim kekurangan dari jiwa manusia.[37] Karena posisi ini merupakan jalan lurus dan menjadi prinsip umum sifat keutamaan. Oleh sebab itu, ketika hal ini condong ke satu ekstrim, maka akan menghilangkan sisi-sisi keutamaannya.
Setidaknya prinsip umum keutamaan ini terdiri dari empat macam yang pada dasarnya berangkat dari pembagian daya jiwa di atas, pertama, kebijaksanaan (al-hikmah) yang merupakan keutamaan jiwa rasional, yaitu rindu akan ilmu pengetahuan mengenal seluruh maujūdat, isu-isu kemanusiaan, dan keTuhanan. Kedua, al-‘iffah (kehormatan diri) adalah keutamaan jiwa syahwat, yaitu jika manusia memperlakukan syahwatnya sesuai dengan arahan jiwa rasional, maka jiwanya tidak akan tunduk dan menjadi budak nafsu. Ketiga, keberanian (as-Syajā’ah) adalah keutamaan jiwa emosi, yaitu ketundukan kepada jiwa rasional menghasilkan keberaniannya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dan bersabar atas cobaan dengan cara yang terpuji. Keempat, keadilan (al-‘adālah) yaitu keutamaan jiwa yang timbul dari sebab berkumpulnya keutamaan-keutamaan sebelumnya.[38] Hal ini karena harmonisnya daya-daya itu serta tunduk kepada daya rasional yang dapat membedakan antara terpuji dan tercela, sehingga tidak saling timpang-tindih bergerak ke tabi’at buruk, dan inilah yang ia sebut dengan jalan tengah (al-wasath).
Selain itu, sebagaimana disebutkan di atas, jiwa manusia selalu dilingkupi oleh dua ekstrim (ekstrim kelebihan atau kekurangan). Ketika ekstrim kekurangan ini membesar pada jiwa rasional, maka menimbulkan kedunguan, tetapi jika ekstrim kelebihan yang melebar, maka melahirkan kelancangan, atau bahkan kesombongan. Hal serupa jika jiwa bahīmiyyah lebih meluas ekstrim kekurangan maka memunculkan dingin hati, namun bila lebih condong ke kelebihan maka menimbulkan sifat tamak dan rakus. Tak tertinggal oleh itu, ketika jiwa emosi lebih menurun ke kekurangan maka melahirkan sifat pengecut, namun sebaliknya bila terlalu tinggi maka akan melahirkan sifat nekad, dan ceroboh.[39] Sedangkan akumulasi dari ekstrim-ektrim kekurangan di atas akan menibulkan “keteraniayaan”, dan bila menjunjung tinggi maka akan melahirkan “aniaya”.[40] Untuk lebih detail dapat dilihat dalam bagan dibawah ini:
Description: Description: Untitled-1
Dalam bagan di atas cukup menggambarkan bahwa sebenarnya keutamaan itu merupakan sikap pertengahan di antara dua sikap tercela. Sedikit condong ke sifat ifrath atau pun tafrith maka akan benar-benar kehilangan fadhīlahnya. Maka dengan itu, daya rasional selalu hadir untuk membantu mengawasi dan menjaga keseimbangan ini melalui ilmu pengetahuan yang benar. Dengan demikian, daya-daya tersebut tetap seimbang dengan peran daya rasional
            Di samping itu, menurut Ibn Miskawaih semua itu haruslah berlandaskan kepada syari’at yang telah banyak mengatur dan menjelaskannya.[41] Karena hanya dengan inilah manusia akan mencapai keutamaan dan melahirkan kebahagiaan. Di sinilah Ibn Miskawaih telah menunjukkan bahwa ia tidak semata-mata mengambil teori ini dari filusuf Yunani, namun telah mengintegrasikannya dengan nilai-nilai agama. Oleh sebab itu, hal ini menjadi dinamis karena di mulai dari agama kemudian diuraikan dengan daya rasional melahirkan sifat-sifat mahmūdah dan menjadi sarana untuk mencapai kebahagiaan.
Meskipun demikian, konsep jalan tengah tersebut tak selamanya sempurna. Karena dalam beberapa sifat utama lainnya tidak mencangkup pertengahan, misalnya jujur bukan sifat tengah antara bohong dengan sikap tercela lainnya. Artinya sifat utama tersebut tidak selalu berada dalam posisi tengah, tetapi terkadang tidak mungkin untuk dikonsepsikan pertengahan. Hal ini setidaknya mengisyaratkan bahwa posisi tengah tersebut tidak dapat pasti dijadikan landasan untuk menentukan keutamaan atapun fadhilah. Akan tetapi, cukup memberikan gambaran awal dari akhlak terpuji yang selayaknya manusia berakhlak.

Kebahagiaan (sa’ādah)
Dalam menjelaskan kebahagiaan, Ibn Miskawaih memulainya dengan menjelaskan al-khair (kebaikan). Karena menurutnya al-khair merupakan bagian penting dari kebahagiaan.[42] Ia mendefinisikan al-khair dengan suatu keadaan dimana seseorang sampai pada batas akhir kesempurnaan wujud.[43] Dengan artian bahwa kebaikan tersebut bergantung dalam sifat-sifat terpuji manusia yang mengantarkannya menuju derajat mulia. Sebab hanya dengan sifat-sifat tersebut manusia mampu mencapai derajat kesempurnaan wujud.
Adapun kebaikan itu setidaknya dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, adalah kebaikan yang bersifat umum, yaitu kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia[44], atau dengan kata lain ukuran-ukuran kebaikan tersebut secara umum telah disepakati oleh manusia. Kedua, adalah kebaikan khusus yang menjadi ukuran diri pribadi setiap manusia.[45] Kebaikan inilah yang disebut dengan kebahagiaan. Karena selalu berbeda satu dengan lainnya. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa kebahagiaan itu berbeda-beda bagi setiap orang dan bergantung kepada cara dan usaha meraihnya. Namun dari keduanya terdapat kebaikan ketiga, yaitu kebaikan mutlak yang merupakan tujuan akhir dan identik dengan wujud. Kebaikan ini merupakan pencapaian tertinggi manusia dalam kemampuannya membedakan, berfikir, dan mengambil hikmah.[46] Pada tahap ini manusia merasa malu dan takut dari sebab timbulnya sesuatu yang buruk dari dirinya. Sehingga ia selalu menjaga dirinya agar selalu dalam kebaikan dan menjauhi segala keburukan. Hal inilah yang akan mengantarkannya menuju kebahagiaan tertinggi.
Sedangkan kebahagiaan sebagaimana ingin dimaksud di atas adalah kebaikan yang meluap dalam diri manusia yang mana tidak membutuhkan hal lainnya.[47] Tetapi hal ini hanya akan terwujud dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan jiwa maupun jasmani manusia. Ini berarti, bahwa kebahagiaan itu merupakan akumulasi dari pemenuhan kebutuhan rohani dan jasmani manusia. Namun demikian, pada dasarnya kebutuhan jiwa menjadi lebih utama dari pemenuhan kebutuhan lainnya. Oleh sebab itu, Ibn Miskawaih selalu menekankan pentingnya pendidikan akhlak agar selalu terpelihara kondisi jiwanya.
Dalam membahas kebahagiaan, setidaknya ada dua pandangan pokok yang ingin dikompromikan oleh Ibn Miskawaih. Pertama, adalah pandangan Plato yang menegaskan bahwa hanya jiwalah yang mengalami kebahagiaan. Karena jasad selalu merasakan penderitaan.[48]Oleh sebab itu, selama manusia masih berhubungan dengan badan, maka ia tak akan pernah mengalami kebahagiaan. Kedua, pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dinikmati di dunia walaupun jiwanya masih berada dalam jasadnya.[49] Hanya saja, kebahagiaan tersebut berbeda-beda menurut masing-masing, seperti; orang miskin memandang kekayaan itu merupakan kebahagiaan, orang sakit ingin kesehatan yang merupakan kekayaan, dan seterusnya.
Menurut Ibn Miskawaih, pada dasarnya manusia terdiri dari dua unsur jiwa dan raga, maka menurutnya manusia dalam hal ini mampu untuk mencapai kebahagiaan keduanya.[50] Namun, menurutnya kebahagiaan yang ada di badan lebih rendah tingkatnya dan tidak abadi dibandingkan kebahagiaan pada jiwa. Sebab kebahagiaan yang bersifat benda mengandung kepedihan dan penyesalan serta menghambat perkembangan jiwa menuju kebahagiaan yang tinggi. Sedangkan kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan yang mampu mengantarkan manusia menuju derajat malaikat. Pada tingkatan ini manusia tak lagi merasa kekurangan, meski materi dan kekurangan jasmani dirasakan. Namun, keadaan hati menjadikan semuanya indah dan damai hingga tercipta kebahagiaan.[51]
Dengan ini, setidaknya menjelaskan bahwa kebahagian menurutnya dapat dibagi menjadi dua, pertama, kebahagiaan dunia yaitu dicapai dengan akhlak mulia dan perbuatan-perbuatan terpuji sebagaimana yang diarahkan oleh akalnya.[52] Sedangkan kedua, kebahagiaan sempurna (quswa/‘ulya), yaitu digapai dengan cara menyempurnakan ilmu serta segala kewajibannya sebagai hamba Tuhan.[53] Artinya bahwa hakikat kebahagiaan manusia itu hanya terletak pada dua tingkatan ataupun bagian ini. Jika melihat hal ini maka manusia selayaknya mengetahui jalan menuju kebahagiaan tersebut.
Untuk mencapai kebahagian ini, menurut Ibn Miskawaih manusia setidaknya haruslah menyempurnakan dua hikmah. Pertama, hikmah teoritis yang dapat diperoleh dengan mempelajari semua ilmu dan mengenal maujūdāt sehingga ia dapat melihat tujuan akhir (ultimate goal) yaitu sang Pencipta. Kedua, hikmah praktis yang dapat diperoleh dengan mempelajari buku-buku akhlak, hal ini sebagai pengontrol agar tetap harmonisnya daya-daya yang ada dalam diri manusia.[54]Dengan hikmah teoritis dimungkinkan memperoleh pendapat yang benar, sedangkan dengan hikmah praktis diharapkan mendapat jalan utama dalam perilaku baik.[55] Jika manusia dapat menyempurnakan keduanya, maka ia akan memperoleh kebahagiaan yang sempurna.
Dengan demikian, hakikat kebahagian paling tinggi dalam pandangan Ibn Miskawaih hanya akan terwujud jika manusia dapat berkembang dari makrifat maujūdāt ke ma’rifatullāh. Dan barang siapa yang mampu mencapai maqām ini, maka akan mencapai kebahagiaan tertinggi. Namun demikian bukan berarti ia manafikan hal-hal materil dan jasad (maujudāt), melainkan menjadikannya sebagai salah satu sarana menuju ma’rifatullāh.
Penutup
Dari pembahasan di atas setidaknya dapat kita ambil beberapa poin penting. Diantaranya adalah; pertama, bahwa hakikat akhlak menurut Ibn Miskawaih adalah suatu keadaan jiwa yang melahirkan perbuatan atapun tindakan secara spontan, tanpa adanya unsur sandiwara, rekayasa maupun paksaan. Suatu perbuatan yang dilakukan dengan adanya unsur paksaan, bukanlah akhlak. Namun demikian, suatu perbuatan akan dapat menjadi akhlak manakala hal tersebut terus-menerus dilatih dan dibiasakan hingga akhirnya menjadi sifat, watak dan pada akhirnya menjadi akhlaknya.
Kedua, jiwa yang merupakan salah satu bagian penting dari manusia, merupakan sumber dari akhlak atau perbuatan yang dikerjakan. Ibn Miskawaih dalam hal ini membaginya ke dalam tiga, yaitu; an-Nafs an-Nāthiqah, an-Nafs as-Sabu’iyyah, an-Nafs al-Bahīimiyyah. Masih-masing dari ketiganya akan saling mempengaruhi dan selalu mengambil porsi lebih dari yang lainnya. Jika hal ini terjadi maka akan terlahir dan keluar darinya sifat tercela yaitu menganiaya. Namun, jika ketiganya seimbang dan selalu mendengarkan nasehat an-Nafs an-Nāthiqah yang disokong oleh ilmu syari’at agama, maka akan menghasilkan akhlak mulia.
Ketiga, keutamaan (fadhīlah) dalam diri manusia akan dapat digapai melalui pembenahan akhlak. Dan Riyadhatu an-Nafs merupakan jalan terbaik untuk melatih dan mendidik agar jiwa manjadi bersih sehingga berakhlak terpuji. Segala sifat serta perbuatan baik akan muncul dan menjadi akhlak mahmudah manakala jiwanya bersih. Hal ini juga akan terdorong jika potensi daya-daya jiwa teroptimalkan menurut bagiannya masing-masing. Maka dengan begitu, akan membuka jalan tengah yang di dalamnya terdapat perbuatan-perbuatan hasanah.
Keempat, perbuatan-perbuatan terpuji tersebut merupakan manifestasi dari kondisi jiwa yang baik. Keadaan ini adalah cermin akhlak mulia manusia yang merupakan kebaikan (al-khair). Hal ini akan membawanya kepada sebuah kesempurnaan wujud yaitu tidak saja mengetahui maujūdāt namun juga ma’rifatullāh. Dalam keadaan inilah manusia akan mencapai sebuah wujud yang utama. Karena ia mencapai tingkatan tinggi manusia, maka dapat meraih as-sa’ādah al-qushwā yang tidak pernah merasakan ke kekurangan, baik fisik maupun materi. Wallāhu a’lamu bissawāb.

Referensi
Al-Qur`an
Al-Attas, S.M.N Prolegomena to the Metaphysics of Islam; an exposition of the fundamental elements of the worldview of Islam, (Kualalumpur: ISTAC, 2001)
Al-Ghazali, Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Ihyā ‘Ulūmiddīn, Murāja’ah : Shidqi Muhammad Jamil al ‘Aththar, (Beirut: Dāru al-Fikr, 2008), juz 3
_______, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Kimyā` as-Sa’ādah dalam Majmu’atu Rasāil al-Imām al-Ghazāli, tahqīq: Ibrāhim Amin Muhammad, ( Mesir: al-Maktabah al-Taufīqiyyah, tth)
Al-Jurjani, Ali bin Muhammad bin Ali, Kitāb at-Ta’rīfāt,  Tahqīq : Ibrahim al Abyārī, (Beirut: Dāru al-Kitāb al-‘Arabi, 1405H, Cet. I),
Al-Kharrāzi, Khālid Ibn Jam’ah Ibn Utsmān, Mausū’atu al-Akhlāk, (ttp: Maktabah ahl al-Atsar, 2009, cet. 1)
Anis, Ibrahim, al-Mu’jam al-Wasīth, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1972)
Aristoteles, ‘Ilmu al-Akhlāk ilā Nichomanous li Aristoteles, diterjemahkan kedalam bahasa Arab Ahmad Luthfi as-Sairiy, (Mesir: al-Haiah al-Mishriyyah al-‘āmmah li al-Kitāb, 2008), juz 1.
Ar-Rāzī, Fakhruddīn, Kitāb an-Nafs wa ar-Rūh wa Syarh Qawāhumā, (Islamabad: Ma’had al-Abhats al-Islāmiyyah, 1987).
Crowther, Jonathan, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (New York: Oxford University Press, 1995)
Ibn Katsir al-Qursyi ad-Damasyqi, Tafsīr al-Qur`ān al-‘Adzīm, Tahqiq: Mahmud Hasan, (tt: Dār al-Fikr, 1994), Juz 3
Ibn Mandzur, Jamaluddin, Lisān al-‘Arab, (Beirut: Dār Shādir, 1414 H), juz 10
Ibnu Qayyim al Jauziyyah, Imam Syamsuddin Abu Abdillah, al-Fawāid,(Bairut: Dar al-Fikr, 1993).
Khadhīr, Thaha ‘Abdussalam, As-Sa’ādah al-quswā fī Falsafati Ibn Miskawaih wa thuruqu Thahlīli, (ttp: al-Fajar al-Jadīd, 1991).
Luis Ma’luf, al-Munjid fil al-Lughah wa al-‘alām, (Beirut: Dar al-Masyriq, 2002, cet. ke 30).
Majid, Fakhry, Ethical Theories in Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1991).
Miskawaih, Muhammad Ibn Ya’qub Tahdzīb al-Akhlāk wa tahhīr al-‘Arāq, (ttp: Maktabah ats-Tsaqāfah al-Dīniyyah, tth).
_______, Muhammad Ibn Ya’qub, al-Fauz as-Ghar, (Mesir: ttp, 1325).
Musa, Muhammad Yusuf, Falsafatu al-Ahlāk al-Islām wa shilātuhā bi al-Falsafah al-Ighrīqiyyah, (Mesir: Mu’assasah al-Khanaji, 1963,Cet. ke 3).
Najati, Muhammad Ustman, ad-Dirasāt an-Nafsiyyah ‘inda al-‘Ulamā` al-Muslimīn, (tt: Dar asy-Syuruq, 1993).
Omar, Mohd. Nasir, Christian and Muslim Ethics: a Study of how to attain happiness as reflected in the works on Tahdzhīb al-Akhlāq by Yahya Ibn ‘Adi and Miskawayh, (Kualalumpur: Dawama, 2003),
Shaliba, Jamil, al-Mu’jam al-Falsafī, (Mesir: Dar al-Kitab al Misri, 1978), Juz 1
Syarif, M.M.,The History Of Islamic Philosophy (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1936), Vol. 1
Thanthawi, Muhammad Sayyid, al-‘Aqīdah wa al-Akhlāk, (Mesir: Nahdhatu Mishra, tth)




[1] Secara garis besar menyangkut tiga hal besar, yakni Aqidah, Syariah dan Akhlak. Aqidah merupakan aspek ajaran yang berkaitan dengan keyakinan. Sedangkan syari’ah banyak bersinggunan dengan hukun atapun tata cara. Akhlak berkaitan dengan perilaku. Namun ketiganya selalu berkaitan satu dengan lainnya. Muhammad Sayyid Thanthawi, al-‘Aqidah wa al-Akhlak, (Mesir: Nahdhatu Mishra, tth), 204
[2] Imam Syamsuddin Abu Abdillah Ibnu Qayyim al Jauziyyah, al-Fawāid, (Bairut: Dar al-Fikr, 1993), 93.
[3] Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur`an  24: 29, 25: 23 bahwa orang-orang yang melakukan kebaikan sebesar apapun, namun tidak ada satu titikpun dalam hatinya keimanan kepada sangan Maha Pencipta, maka amalan-amalan mereka bagaikan fatamorgana dan tidak akan mendapatkan sedikitpun balasan kebaikan darinya. Ibn Katsir al-Qursyi ad-Damasyqi, Tafsīr al-Qur`ān al-‘Adzīm, Tahqiq: Mahmud Hasan, (tt: Dār al-Fikr, 1994), 3/360, 381-383.
[4] Mohd. Nasir Omar, Christian and Muslim Ethics: a Study of how to attain happiness as reflected in the works on Tahdzhib al-Akhlaq by Yahya Ibn ‘Adi and Miskawayh, (Kualalumpur: Dawama, 2003), 12
[5]Jamil Shaliba, al-Mu’jam al-Falsafi, (Mesir: Dar al-Kitab al Misri, 1978), 1/539, Luis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘alām, (Beirut: Dar al-Masyriq, 2002, cet. ke 30), 194
[6] Jonathan Crowther, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (New York: Oxford University Press, 1995), 393
[7] Fakhry Majid, Ethical Theories in Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1991), 2
[8] Jamaluddin Ibn Mandzur, Lisān al-‘Arab, (Beirut: Dār Shādir, 1414 H), 10/86
[9] Muhammad Ibn Ya’qub Miskawaih, Tahdzīb al-Akhlāk wa tahhīr al-‘Arāq, (ttp: Maktabah ats-Tsaqāfah al-Dīniyyah, tth), 41
[10] Pengertian ini sebagaimana yang di komparasikan Mohd. Nasir Omar dengan teks aslinya: “The states of soul with human by shich a man does good deeds and fair actions are the virtues, and those by which he does wichked deeds and ugly actions, are the vices, Moh. Nasir Omar, Christian and Muslim Ethics….., 4
[11] Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali (w. 505 H), Ihyā` ‘Ulūm al-Dīn, Murāja’ah : Shidqi Muhammad Jamil al ‘Aththar, (Beirut: Dāru al-Fikr, 2008), 3/57. Hal ini kemudian diikuti oleh beberapa pemikir Islam lainnya, seperti Fakhru ad-Din al-Rāzī (1209), al-Tusi (1274), al-Dawwani (1502) dan lainnya. Moh Nasir Omar, Christian and Muslim….161
[12] Ali bin Muhammad bin Ali al Jurjani, Kitāb at-Ta’rīfāt,  Tahqīq : Ibrahim al Abyārī, (Beirut: Dāru al-Kitāb al-‘Arabi, 1405H, Cet. I), 1/136
[13] Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasīth, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1972), 202
[14] Thaha ‘Abdussalam Khadhīr, As-Sa’ādah al-quswā fī Falsafati Ibn Miskawaih wa thuruqu Thahlīli, (ttp: al-Fajar al-Jadīd, 1991),  94,  Ali bin Muhammad bin Ali al-Jurjani, at-Ta’rīfāt,… 101.
[15] Thaha ‘Abdussalam Khadīr, As-Sa’ādah al-Qushwā……., 94
[16] Muhammad Ibn Ya’qub Miskawaih, Tahdzīb al-Akhlāk ……, 41. dalam hal ini ia tampak terpengaruh oleh doktrin filsafat Aristoteles yang membagi akhlak menjadi dua sebagaimana di atas. M.M. Syarif, The History Of Islamic Philosophy (Weisbaden: Otto Harrassowitz, 1936), 1/ 475
[17] Muhammad Ibn Ya’qub Miskawaih, Tahdzīb al-Akhlāk ……, 44
[18] Sebagaimana yang dikomparasikan oleh Mohd. Nasir Omar antara Al-Munqidz Min al-Dhalal,34 dengan Ihya ‘Ulumuddin 3/60-62 dalam Christian and Muslim Ethics. Mohd. Nasir Omar, Christian and Muslim Ethics……., 4-5
[19] Muhammad Ibn Ya’qub Miskawaih, al-Fauz as-Ghar, (Mesir: ttp, 1325), 27-30,  Muhammad Ibn Ya’qub Miskawaih, Tahdzīb al-Akhlāk ….., 3
[20] Ibid, 9
[21] Ibid, 6-7. Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Fakhruddin ar-Razi bahwa jiwa merupakan esensi yang berbeda dengan badan, terpisah secara esensial, bukan materi, bukan fisik dan bergantung dengannya segala pengaturan. Jiwa menempati posisi tinggi memberikan instruksi kepada seluruh anggota badan yang merupakan perangkat alat baginya. Namun demikian, bukan bagian dari badan karena tak mampu untuk disentuh oleh indra. Fakhruddīn ar-Rāzī, Kitāb an-Nafs wa ar-Rūh wa Syarh Qawāhumā, (Islamabad: Ma’had al-Abhats al-Islāmiyyah, 1987), 32-33.
[22] Muhammad Ibn Ya’qub Miskawaih,Tahdzīb al-Akhlāk, 56-58. Pembagian ini sedikit berbeda dengan beberapa filusuf lainnya, seperti al-Farābi, Ibn Sīnā, al-Ghazālī, dan Fakhruddīn ar-Rāzi. Mereka juga membagi daya jiwa menjadi tiga bagian, pertama, daya rasional yang pendefinisiannya juga tidak berbeda dengan Ibn Miskawaih, kedua, adalah daya hewani yang di dalamnya mencangkup dua daya dari pembagian Ibn Miskawaih yaitu daya syahwat dan daya emosi, sedangkan ketiga adalah, daya nabati atau tumbuhan ialah daya yang ada dari sebab kodrat makhluk hidup, yaitu tumbuh dan berkembang. Untuk lebih detail baca: Muhammad Ustman Najati, ad-Dirasāt an-Nafsiyyah ‘inda al-‘Ulamā` al-Muslimīn, (tt: Dar asy-Syuruq, 1993).
[23] Ibid, 75
[24] Muhammad Ibn Ya’qub Miskawaih, Tahdzīb al-akhlāk....….,23
[25] Ibid, 24
[26] Ibid, 33
[27] Ibid, 63
[28] Uraian lebih lengkap dan detailnya dapat dibaca dalam  karya al-Ghazali, Ihyā` ‘ulūm al-Dīn, (Beirut: Dar al-Qolam, tth), 3/ 8-9, Kimyā` as-Sa’ādah dalam Majmu’atu Rasāil al-Imām al-Ghazāli, tahqīq: Ibrāhim Amin Muhammad, ( Mesir: al-Maktabah al-Taufīqiyyah, tth), 451-455
[29] Ibn Miskawaih, Tahdzīb al-Akhlāk......., 43, 80
[30] Ibnu Qayyim al Jauziyyah, al-Fawāid….209, Khālid Ibn Jam’ah Ibn Utsmān al-Kharrāzi, Mausū’atu al-Akhlāk, (ttp: Maktabah ahl al-Atsar, 2009, cet. 1), 26
[31] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazāli, Kimyā` as-Sa’ādah…..451-455, S.M.N al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam; an exposition of the fundamental elements of the worldview of Islam, (Kualalumpur: ISTAC, 2001), 68-89, 143-144
[32] Ibnu Qayyim al Jauziyyah, al-Fawāid….209, Khālid Ibn Jam’ah Ibn Utsmān al-Kharrāzi, Mausū’atu al-Akhlāk, (ttp: Maktabah ahl al-Atsar, 2009, cet. 1), 26
[33] Muhammad Yusuf Musa, Falsafatu al-Ahlāk al-Islām wa shilātuhā bi al-Falsafah al-Ighrīqiyyah, (Mesir: Mu’assasah al-Khanaji, 1963,Cet. ke 3), 86-87
[34] Ibn Miskawaih membagi  keutamaan (fadhilah) menjadi dua, pertama, fadhilah secara teoritis yaitu keutamaan yang khusus berkaitan dengan akal dalam kewajibannya untuk mencampai derajat kesempurnaan, seperti: seni, ilmu, dan filsafat. Kedua, yaitu yang khusus berkenaan dengan keutamaan dalam perbuatan, seperti: sikap keberanian, keadilan dan dermawan. Thaha ‘Abdussalam Khudhīr, as-Sa’ādah al-Qushwā……..,117
[35] Muhammad Yusuf Musa, Falsafatu al-Akhlāk……, 118-119.
[36] Hal ini tampak sejalan dengan pandangan Aristoteles yang juga menawarkan jalan tengah. Lebih detailnya baca: Aristoteles, ‘Ilmu al-Akhlāk ilā Nichomanous li Aristoteles, diterjemahkan kedalam bahasa Arab Ahmad Luthfi as-Sairiy, (Mesir: al-Haiah al-Mishriyyah al-‘āmmah li al-Kitāb, 2008), 1/ 243-264
[37] Muhammad Ibn Ya’qub Miskawaih,Tahdzīb al-Akhlāk……….., 34
[38]Ibid, 26. Thaha Abdussalam Khudir, as-Sa’ādah al-Qushwā……, 134-135
[39] Ibid, 24-25
[40] Ibid, 37
[41] Ibid, 45 dan 126
[42] Muhammad Yusuf Musa, Falsafatu al-Akhlāk fī al-Islām…., 93
[43] Muhammad Ibn Ya’qub Miskawaih, Tahdzīb al-Akhlāk……., 87
[44] Ibid, 87-89
[45] Ibid,
[46] Ibid, 67 dan 88
[47] Ibid, 90. Muhammad Yusuf Musa, Falsafatu al-akhlāk fī al-Islām….., 94
[48] Muhammad Ibn Ya’qub Miskawaih, Tahdzīb al-Akhlāk……93. M.M. Syarif, The History Of Islamic Philosophy…….. 1/ 476
[49] Ibid. 1/475,
[50] Muhammad Ibn Ya`qub Miskawaih, Tahdzīb al-Akhlāk…….94
[51] Ibid, 95
[52]Thaha Abdussalam Khudir, As-Sa’ādah al-Qushwa……., 185-187
[53] Ibid, 186-189
[54] Muhammad Ibn Ya’qub Miskawaih, Tahdzīb akhlāk…., 33. Thaha Abdussalam Khudir, as-Sa’adah al-Quswa……, 204
[55] Muhammad Ibn Ya’qub Miskawaih, Al-Fauz al-Ashghar…..., 66

Related Posts

There is no other posts in this category.

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter